Selasa, 29 April 2008

Sisingamangaraja XII, nilai budaya dan nilai-nilai keluarga.

Nilai Budaya

Meskipun suku bangsa Batak telah banyak berpindah dari kampung halaman di kawasan Danau Toba ke tempat perantauan baik di desa maupun di kota di berbagai tempat di Indonesia bahkan di berbagai tempat di belahan dunia serta sungguh pun suku bangsa Batak telah bergaul dengan suku-suku bangsa lain di Indoneisa bahkan dengan bangsa lain di berbagai belahan dunia, suku bangsa Batak masih tetap mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai utama budayanya sebagai kearifan tradisional (local wisdom) dan sekaligus sebagai modal pengembangan kemanusiaan (human capital). Sudah barang tentu, implementasi nilai-nilai utama itu dan operasionalisasi nilai-nilai penunjang budayanya sudah mengalami pergeseran.

Nilai utama budaya yang dapat dimanfaatkan sebagai local wisdom dan human capital sangat bermakna dalam membangun suatu suku bangsa dan daerahnya seperti suku bangsa Batak. Nilai utama budaya Batak mengandung tiga bagian besar, yakni identitas kesukubangsaan, visi tujuan hidup, dan pedoman interaksi. Ketiga nilai budaya itu harus dibermaknakan agar kelak dapat menjadikan masyarakat pemilik kebudayaan itu lebih sejahtera.

Identitas kesukubangsaan merupakan internalisasi nilai yang diwariskan oleh orang tua secara informal kepada setiap anak sejak dari kecil untuk membangun eksistensi ke-Batakan-nya (habatahon), yang kelak dapat merupakan jalan, wahana, dan alat memasuki tujuan hidup suku bangsa Batak. Dengan demikian, identitas budaya ini disebut sebagai nilai instrumental (instrumental values). Visi suatu suku bangsa adalah tujuan hidup suatu kolektif, dalam hal ini tujuan suku bangsa Batak, yang merupakan tujuan akhir yang diidam-idamkan masyarakat. Dengan demikian, visi tujuan hidup ini disebut sebagai nilai terminal (terminal values). Pedoman interaksi merupakan landasan interaksi masyarakat, yang berfungsi menentukan kedudukan, hak, dan kewajiban masyarakat, mengatur serta mengendalikan tingkah laku masyarakat dalam kehidupan sosial sehari-hari, dan menjadi dasar demokrasi untuk penyelesaian masalah terutama secara musyawarah dan mufakat dalam masyarakat Batak Toba. Pedoman interaksi ini disebut dengan nilai interaksional (interactional values).

Pensejahteraan suatu suku bangsa Batak sebaiknya didasari ketiga nilai budaya tersebut. Nilai adalah prinsip, aturan, pedoman, keyakinan atau panduan umum yang didambakan oleh masyarakat sebagai hasil kesepakatan masyarakat itu. Inti kebudayaan terletak pada nilai kebudayaan itu sehingga nilai budaya itulah yang digali sebagai modal sosial-budaya dan kemudian diwariskan apabila kita hendak membangun sumber daya manusia. Kebudayaan memiliki nilai karena kebudayaan juga merupakan pedoman hidup masyarakat sebagaimana terlihat dalam definisi kebudayaan berikut ini. Kebudayaan adalah keseluruhan kebiasaan manusia yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan, dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan/atau kesejahteraan hidupnya. Kebudayaan harus dapat menjadikan masyarakatnya lebih damai dan lebih sejahtera, bukan sebaliknya menjadi beban terhadap masyarakatnya. Nilai budaya merupakan dasar dan pedoman yang mengatur tingkah laku yang benar pada waktu yang tepat. Nilai budaya sekaligus mengatur manusia dalam kelompoknya untuk mengetahui mana yang baik atau yang buruk, yang harus dilakukan atau yang harus diabaikan, yang diinginkan atau dihindari, dan yang diyakini benar atau salah.

Nilai budaya sebagai identitas pada suku bangsa Batak, adalah marga, bahasa-aksara, dan adat-istiadat. Marga adalah nama persekutuan sekelompok masyarakat yang merupakan keturunan dari seorang kakek menurut garis keturunan bapak (patrilineal), yang pada umumnya memiliki tanah bersama di tanah leluhur. Sekelompok masyarakat yang merupakan keturunan dari seorang kakek itu disebut semarga dan membubuhkan marga itu di belakang nama kecil mereka. Dengan demikian, orang-orang yang semarga adalah orang-orang yang keturunan dari kakek yang sama. Bagi suku bangsa Batak, marga sebagai identitas lebih dominan daripada nama karena dapat menunjukkan hubungannya dengan sesema orang yang semarga, bahkan dengan marga lain dan dapat juga menunjukkan dari mana asalnya di Bona Pasogit karena setiap marga memiliki tanah di daerah asal.

Bahasa dan aksara juga merupakan indentitas suku bangsa Batak. Berbeda dengan marga yang secara otomatis dimiliki oleh setiap orang Batak, bahasa dan aksara hanya dilmiliki jika dipelajari dan dikuasai. Jika setiap orang Batak memiliki marga, tidak semua orang Batak sekarang ini yang dapat berbahasa Batak dan mampu menulis serta membaca aksara Batak. Sudah dipastikan bahwa semua orang Batak yang tinggal di Bona Pasogit dapat berbahasa Batak, meskipun sangat sedikit yang menguasai aksara Batak, tetapi mayoritas anak-anak dan generasi muda yang lahir dan dibesarkan di kota-kota tidak lagi dapat berbahasa Batak, apalagi menguasai aksara.

Adat-istiadat seperti upacara kelahiran, upacara pernikahan, upacara kematian, norma, dan kebiasaan-kebiasaan juga merupakan jati diri suku bangsa Batak, yang membedakan suku bangsa ini dengan suku bangsa lain.

Identitas ini merupakan jalan, cara, dan alat untuk memungkinkan orang dapat menuju nilai budaya lain karena tanpa memiliki dan mengetahui identitas ini, sulit orang memahami dan memiliki nilai budaya interaksional dan nilai budaya terminal. Itulah sebabnya identitas ini disebut nilai instrumental.

Sistem interaksi pada masyarakat Batak adalah Dalihan Na Tolu ”Tungku Nan Tiga”, yang terdiri atas dongan tubu (pihak semarga), boru (pihak penerima istri), dan hula-hula (pihak pemberi istri). Dalam interaksinya, setiap orang akan memiliki sikap berperilaku yang berbeda pada masing-masing pihak itu. Orang akan manat mardongan tubu ”hati-hati pada teman semarga”, elek marboru ”membujuk pada pihak penerima istri” , dan somba marhula-hula “hormat pada pihak pemberi istri”. Jelas bahwa nilai interaksional ini hanya bisa dipahami, bahkan dijelaskan, setelah memiliki dan memahami nilai identitas.

Visi orang Batak sangat jelas, yakni ingin memiliki Hagabeon-Hamoraon-Hasangapon. Istilah hagabeon berarti ”mempunyai keturunan terutama anak laki-laki”, hamoraon berarti ”kekayaan atau kesejahteraan” , dan hasangapon berarti ”kehormatan”. Hamoraon dan hagabeon sangat jelas indikatornya, tetapi hasangapon agak abstrak: hasangapon adalah hagabeon plus hamoraon. Untuk mencapai hagabeon, orang harus menikah; untuk mencapai hamoraon, orang harus mandiri, kerja keras, gotong royong, dan berpendidikan, yang kesemuanya membuat orang dapat mencapai hasangapon. Oleh karena hagabeon-hamoraon-hasangapon itu merupakan visi dan tujuan kehidupan orang Batak, maka itulah yang disebut dengan nilai terminal.

Akhirnya, nilai utama Budaya Batak, yakni identitas sebagai instrumental values, sistem interaksi sebagai interactional values, dan visi sebagai terminal values dapat difungsikan dan diwariskan dalam pembentukan sumber daya manusia untuk mencapai keberhasilan pembangunan suku bangsa Batak. Pewarisan, internalisasi, dan resosialisasi nilai-nilai budaya di atas sejak dini kepada masyarakat Batak akan menciptakan sumber daya manusia yang betul-betul menjadi human capital terutama di daerah bonapasogit.

Manusia sebagai sosok dan tokoh selalu menarik diperbincangkan dari aneka sudut pandang. Perbincangan akan lebih menarik bila sosok dan ketokohan seseorang relevan dan kontributif bagi pengembangan sumber daya generasi muda. Sosok dan tokoh yang menyejarah dapat menjadi acuan untuk membangun sikap dan semangat patriotisme. Manusia dalam konteks budaya adalah individu yang mampu berperan sebagai penggagas, pelaku, dan penghasil. Ketiga peran ini terakumulasi dan termanifestasi dalam prestasi (achievement). Gagasan, tindakan dan kinerja manusia yang berlandaskan pada prestasi gemilang sampai kapanpun akan menjadi idaman dan sumber inspirasi bagi tiap-tiap individu. McClelland, (1987) berkata bahwa ada tiga motif sosial yang dapat membuat orang berhasil, yakni motif berprestasi (the achievement motive), motif berkuasa (the power motive), dan motif persahabatan (the affiliation motive). Ketiga motif sosial itu ternyata ditentukan oleh lingkungan budayanya. Dalam kajian kebudayan Batak, yakni motif berprestasi (the achievement motive) dan motif berkuasa (the power motive) dilandasi oleh visi Hagabeon-hamoraon-hasangapon, sedangkan motif persahabatan (the affliliation motive) dilandasi oleh nilai Dalihan Natolu, yang kesemuanya dapat dimanfaatkan untuk menjadi faktor penentu keberhasilan.

Dalam konteks menatap perjuangan Raja Sisingamangaraja XII di panggung sejarah, nilai budaya apakah yang dapat diwariskan dan direvitalisasi untuk generasi mudaa di abad XXI ini?

Nilai Budaya dalam Perjuangan Sisingamangaraja XII

Sosok Raja Sisingamangaraja XII sebagai Power Motive

Patuan Bosar Sinambela atau Ompu Pulo Batu lahir di Bakkara, Kabupaten Humbang Hasundutan pada tahun 1849. Ompu Pulo Batu yang menjadi Sisingamangaraja XII mulai tahun 1875 sampai 1907 adalah Pahlawan Nasional dari Tanah Batak, yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia pada 9 November 1961.

Patuan Bosar atau Raja Ompu Pulo Batu ditabalkan menjadi Si Singamangaraja XII pada tahun 1875 dalam usia 17 tahun setelah berhasil mencabut piso gaja dompak dari sarungnya sebagai syarat mutlak pemangku gelar Singamangaraja. Di samping itu, Si Singamangaraja XII memiliki kemampuan mendatangkan hujan di saat musim kemarau dan melakukan mukjizat di wilayah kekuasaannya. Pada saat penabalannya, Tapanuli Utara masih berstatus “daerah Batak merdeka” (onafhankelijk gebied van de Batak) (Sijabat,1983:152). Sebagai Raja Imam Batak (priester koning), Si Singamangaraja XII bertanggung jawab untuk melanjutkan tugas sebagai pemimpin (primus interpares) masyarakat Batak seperti yang telah dilakukan oleh Si Singamangaraja I- XI.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia karena perjuangannya untuk melawan penjajahan membebaskan Tanah Batak pada khususnya dan Indonesia pada umumnya dari penjajahan. Dia berperang melawan penjajah Belanda kurang lebih 30 tahun (1877-1907). Perjuangannya tidak mengenal menyerah dan perjuangannya berakhir karena mati tertembak pada tanggal 17 Juni 1907 di tepi sungai Sibulbulon, Gunung Sitapongan, Desa Sionomhudon, Parlilitan, Tapanuli Utara.

Si Singamangaraja XII dikenal sebagai sosok pemimpin (primus interpares) dalam masyarakat Batak. Beliau juga seorang tokoh historis dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia menyongsong era kemerdekaan dengan menyandang gelar Pahlawan Nasional. Perjuangan Si Singamangaraja XII dari tahun 1877 sampai 17 Juni 1907 membuktikan kehebatan strategi perang yang dimainkannya. Dalam tengggang waktu 30 tahun Si Singamangaraja XII mampu menghempang dan membayangi kekuatan kolonial Belanda di Tapanuli dengan melakukan perlawanan. Beliau tidak tinggal diam di istananya di Bakara, tetapi terjun langsung ke medan juang untuk menegakkan kembali kebebasan masyarakatnya. Mampu menjalin kerja sama dengan penguasa lokal di sekitarnya dan mengikutsertakan anggota keluarga dan masyarakat pimpinannya bersama-sama berjuang mengusir penguasa asing dan sekaligus mempertahankan kedaulatannya. Nilai juang yang diraih Si Singamangaraja XII atas tiga peran yang dilakukan sekaligus sebagai manusia berbudaya Batak di medan perang mengorbitkan dirinya sebagai sosok dan tokoh historis yang bertaraf nasional.

Singamangaraja bermakna Singa yang melampaui dan Singa yang tak terlampaui. Tugas dan tanggung jawab Si Singamangaraja XII adalah sebagai pemimpin agama, adat-istiadat, hukum, ekonomi, pertanian, pendidikan, dan militer (Sijabat, 1983:11). Si Singamangaraja XII tidak hanya berfungsi sebagai priester koning (raja imam) sebagaimana dikemukakan oleh pihak kolonial Belanda, tetapi beliau merupakan seorang pemimpin yang cakap menyelesaikan aneka ragam permasalahan sosial yang mengemuka di wilayahnya di masa lalu. Lagu Tampollong ma di si mengungkapkan kecakapan Si Singamangaraja menyelesaikan persoalan-persoalan intern dan ekstern semasa hidupnya. Beliau merupakan sosok pemimpin yang peka terhadap penderitaan rakyatnya, pemimpin yang selalu dinanti kehadirannya setiap saat, pembawa kebebasan dan kesejahteraan bagi orang terpasung, para tawanan, dan budak hutang, tumpuan dan harapan hidup rakyat pimpinannya.

Menyoroti sosok dan tokoh historis Si Singamangaraja XII sebagai manusia berbudaya Batak merupakan kebanggaan tersendiri. Gagasan, tindakan, dan kinerjanya pantas diperbincangkan dan diperkenalkan kepada generasi penerus. Bagaimana beliau sebagai pemimpin menjalin kerja sama dan membangun kekuatan massa untuk bersama-sama melakukan konfrontasi terhadap pihak kolonial Belanda? Bagaimana sikap dan tindakan aktual beliau mendapatkan simpati dan empati dari lingkungannya untuk ikut dan ambil bagian dalam perang yang dipimpinnya terhadap kolonial Belanda?

Nilai Budaya Interaksi sebagai Affiliation Motive

Si Singamangaraja XII, sebagai pemimpin menunjukkan kebolehannya menjalin hubungan dan kerja sama yang baik dengan masyarakatnya atas dasar Dalihan Na Tolu dan juga dengan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya termasuk Aceh, Raya, dan Hilir. Untuk lebih memperkokoh hubungan dan kerja sama, Si Singamangaraja XII menciptakan “raja merampat” (paung na opat). Raja merampat (paung na opat) merupakan wakil Si Singamangaraja XII di daerah-daerah yang berfungsi sebagai pemangku (stadhouders) kerajaan Raja Imam Si Singamangaraja. Sistem raja merampat ini diadopsi Si Singamangaraja dari Aceh dan diterapkan di wilayah kekuasaannya. Sistem ini merupakan salah satu dasar kekuatan dan ketahanan perlawanan Si Singamangaraja XII terhadap Belanda di Bahalbatu, Balige, Uluan, dan lain-lain. Si Singamangaraja XII, seorang pemimpin yang mampu dan cakap mengerahkan orang-orang yang berasal dari berbagai daerah menjadi kekuatan militer dalam pertempuran karena memiliki wibawa di bidang kerohanian dan di bidang kemasyarakatan.

Kemampuan Si Singamangaraja XII untuk memadukan Dalihan Na Tolu sebagai sistem kekerabatan Batak dengan sistem raja merampat untuk menciptakan hubungan yang lebih berkualitas dan diaktualisasikan dalam bentuk kerja sama dalam misi pertempuran melawan kolonial Belanda mencuatkan kepermukaan salah satu kelebihan Si Singamangaraja XII. Sisingamangaraja XII menerapkan nilai budaya interaksi sebagai motif afiliasi (affiliation motive). Budaya Batak bercirikan kerja keras, ulet, dan kerja sama melekat kuat pada pribadi Si Singamangaraja I-XII, tampak na do tajomna, rim ni tahi do gogona. Di dalam catatan sejarah, Batak menjalin hubungan dan kerjasama yang baik dengan Aceh. Ekspansi dan aneksasi Belanda ke Sumatera sebagai konsekuensi dari Traktat ‘s Gravenhage (1871) memunculkan dua perlawanan besar yang harus dihadapi oleh Belanda yaitu Perang Aceh (1873) dan Perang Si Singamangaraja (1878). Perang Si Singamangaraja XII di Bahalbatu tahun 1878 mendapat bantuan pasukan dari Aceh sebagai salah satu bentuk kerja sama yang telah terjalin sebelumnya.

Di Simalungun, raja merampat juga dibentuk yang terdiri atas kerajaan Tanah Jawa, Dolok Silau, Pane dan Siantar untuk menjalin hubungan dan kerja sama. Si Singamangaraja XII juga menjalin hubungan erat dan kerja sama dengan Tuan Rondahaim Saragih sebagai penguasa kerajaan Raya untuk bersama-sama berkonfrontasi kepada Belanda. Kerja sama Si Singamangaraja XII dengan Rondahaim Saragih terealisasi dalam perlawanan terhadap Belanda di daerah Bedagai. Fakta mengungkapkan bahwa setelah kunjungan Si Singamangaraja XII ke Raya, maka pendukung Rondahaim Saragih berani membakar gudang-gudang tembakau di daerah Deli Serdang. Para kuli kontrak juga diberi masing-masing 20 ringgit asal mau membakar gudang pengeringan tembakau tersebut. Hubungan dan kerja sama terus diperkuat dan diperluas ke daerah Singkel, Karo, Deli Serdang, dan lain-lain.

Nilai Budaya Visi sebagai Achievement Motive dan Power Motive

Van der Tuuk seorang ilmuan Belanda menamakan Si Singamangaraja sebagai Koning aller Bataks (raja dari segala orang Batak). Si Singamangaraja XII adalah seorang pemimpin dermawan, suka menolong, anti perbudakan, penjunjung nilai kekebasan, dan cepat bertindak. Nilai budaya visinya sangat jelas, yakni menjadikan rakyatnya menjadi terbebas dan sejahtera untuk dapat mengarah pada hagabeon-hamoraon-hasangapon. Si Singamangaraja XII memiliki kepekaan sosial. Tindakannya teraktualisasi dalam tiap-tiap kunjungannnya ke daerah-daerah. Sapaan pertama yang dilontarkan pada tiap kunjungannya adalah Adakah orang yang sedang dipasung? Bila di daerah kunjungannya terdapat manusia terpasung dan tertawan akibat kalah perang dan hutang, maka dengan kewibawaannya, dan sesuai dengan hukum yang berlaku, yakni menebus dengan membayar binsang dan ampang, beliau melepaskan para terpasung dan tawanan tersebut. Wibawa kepemimpinan Si Singamangaraja XII adalah anti perbudakan dan pemasungan.. Salah satu bukti kedermawanan Si Singamangaraja XII adalah membayar hutang Tuan Dolog Kahean (Sijabat, 1983:244).

Si Singamangaraja XII, sebagai manusia berbudaya Batak, tokoh historis yang berskala nasional menjunjung tinggi nilai-nilai kekebasan sebagai salah satu hak azasi manusia. Beliau rela melepaskan kekayaannya untuk mendapatkan kebebasan bagi orang-orang yang terdominasi ekonomi dan politik. Di dalam catatan sejarah, pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20, praktek perbudakan ditemukan di masyarakat Batak . Praktek perbudakan ini terjadi karena sering terjadi perang antar huta (kampung) dan musim kemarau. Konsekuensi perang antar huta menciptakan kelompok yang mengalami kekalahan menjadi taban-tabanan (tawanan) pihak yang menang dan selanjutnya pihak yang menang akan memperlakukan para tawanannya sebagai budak. Musim kemarau panjang merupakan salah satu penyebab perbudakan. Masyarakat petani yang sering mengalami gagal panen akibat kekeringan tentu akan berhutang untuk bisa menyambung hidup. Selama hutang belum terbayar, maka orang yang berhutang akan menjadi budak bagi si pemberi hutang.

Selain perang antar huta dan musim kemarau, perbudakan juga terjadi akibat ulah para pambarobo (perampok). Para pambarobo menyergap laki-laki dan perempuan untuk diperjual-belikan di pasar budak di Tongging. Di dalam catatan von Brenner, harga seorang budak wanita muda yang berasal dari Toba di Tongging dan Silalahi 70-120 ringgit dan wanita dewasa seharga 20-50 ringgit. Posisi seorang budak pada masyarakat Batak kuno sangat rendah. Di Lontung, Samosir, seorang keturunan budak diberi nama huting (kucing). Bila raja Lontung kedatangan tamu, maka sibudak harus mengeong seperti kucing. Budak dan keturunannya tidak boleh mengadakan pesta, tidak diperkenankan memakai ulos ragi idup, rumahnya bertangga genap, dan lain-lain ciri yang bersifat merendahkan martabatnya sebagai manusia dalam lingkup sosial Batak Upaya dan tindakan Si Singamangaraja XII untuk menghapuskan perbudakan (hatoban dan taban-tabanan) menciptakan simpati dan empati masyarakat terhadap dirinya, baik dari individu yang mendapatkan kebebasan, maupun dari masyarakat sekitar yang menyaksikan. Selain sebgai achievement motive, usaha yang dilakukan Sisingamangaraja XII ini sekaligus sebagai power motive karena dengan demikian dia menjadi mendapat pengaruh dan simpati dari masyarakat.

Nilai Budaya Identitas

Dalam usahanya melawan penjajah dengan kerja sama keluar dan untuk menyamakan kedudukannya dengan raja-raja atau sultan-sultan Melayu, Sisingamangaraja XII-lah yang pertama menggunakan kertas dan cap sebagai legalitas surat yang ditujukan kepada otoritas kolonial Belanda dan missionaris Jerman I.L. Nommensen.

Sebagai pelegalitas surat-suratnya selama masa perjuangan, ada tiga jenis cap Sisingamangaraja XII (Kozok, 2000:254), dua di antaranya (cap B dan C) lebih sering digunakan, sedangkan satu lagi (cap A) jarang digunakan, tetapi ada ditemukan dalam arsip Vereinigte Evangelische Mission (pengganti RMG) di Wuppertal, Jerman. Ketiga cap itu ditulis dengan bahasa dan aksara Batak yang ditulis ditengah cap dan bahasa Melayu dengan menggunakan aksara Jawi yang ditulis di pinggir sekeliling cap.

Cap A berbentuk bulat bergerigi sepuluh dengan diameter 60 mm. Kondisi cap ini kurang bagus dan kelihatannya dibuat terbalik, aksaranya baru jelas terbaca setelah menggunakan cermin seperti berikut ini: (CAP A) Cap B berbentuk bulat bergerigi 12 dengan diameter 74 mm. Ini yang lebih sering digunakan dalam surat-surat Sisingamangaraja XII sebagaimana terlihat berikut ini: (CAP B) Cap C berbentuk bulat bergerigi 11, yang tampaknya lebih ”mudah” dibaca seperti terlihat berikut ini:(CAP C) Tulisan Aksara Batak yang ada pada ketiga cap itu, terutama lebih banyak tafsiran dalam cap B, memiliki variasi bacaan dan tafsiran seperti ini:

1. Ahus sap tuwana Sisingamangaraja tiyan Bagara.

2. Ahu sasap tangan sisingamangaraja mian Bakkara.

3. Ahu sasap tuwana Sisingamangaraja mian Bakkara.

4. Ahu ma sap tuana Sisingamangaraja sian Bagara.

5. Ahu sahap ni tuwan Sisingamangaraja tian Bakara.

6. Ahu sahap tuan Sisingamangaraja tian Bakara.

7. Ahu sahap ni Sisingamangaraja sian Bakara.

8. Ahu sasap tuana Sisingamangaraja tian Bagara.

9. Ahu ma sap tuan Sisingamangaraja tian Bangkara.

Namun, dari semua tafsiran itu, inti tulisan pada cap itu adalah ”Ahu sap ni Sisingamangaraja sian Bakara”, yang artinya ”Aku cap Sisingamangaraja dari Bakara”.

Tulisan Arab Melayu, yang berada di sekeliling cap itu berbunyi, ”Inilah cap maharaja di negeri Teba kampung Bakara nama kotanya hijrat Nabi 1304. (Kozok, 2000:265). Di samping sebagai legalitas surat dalam memainkan peran politik dan militernya, cap Sisingamangaraja XII yang bertuliskan aksara dan bahasa Batak serta aksara Jawi dan bahasa Melayu menggambarkan beberapa hal:

1) Perlunya mempertahankan nilai identitas etnik, yang ditandai oleh bahasa Batak dan aksara Batak di dalam cap itu.

2) Perlunya mempertahankan nilai identitas ke-Melayu-an atau sekarang ke-

Indonesia-an, yang ditandai oleh bahasa Melayu dan aksara Jawi oleh karena itu diperlukan untuk menjalin kerja sama dengan etnik dan religi lain terutama dengan mereka sesama penutur bahasa Melayu, yang dalam konteks sekarang ini adalah masyarakat penutur bahasa Indonesia atau masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, etnisitas dalam bingkai nasionalisme.

Nilai-Nilai Keluarga

Kepentingan umum tidak selalu berbanding sama dengan kepentingan pribadi. Dalam diri seorang tokoh, jika dia mementingkan kepentingan umum, sering dia “mengabaikan” kepentingan pribadi atau kepentingan keluarga. Apakah itu terjadi pada kehidupan perjuangan Sisingamangaraja XII? Jawabannya, boleh “ya” dan boleh juga “tidak”. Pada hakikatnya, pihak keluarga lebih mengetahui masalah ini atau paling tidak (in-depht, open-ended interview) wawancara terbuka dan mendalam kepada pihak keluarga dapat menjelaskan ini. Itulah sebabnya, nilai keluarga di sini tidaklah menyangkut ranah yang demikian, tetapi lebih menyangkut nilai keluarga yang berkenaan dengan perjuangan Sisingamangaraja XII.

Namun, sebagai nilai keluarga yang tergambar dalam perjuangan Sisingamangaraja XII dimotivasi oleh visi hagabeon-hamoraon-hasangapon terutama dalam hagabeon. Berdasarkan silsilah Sisingamangaraja XII didapatkan informasi bahwa dari istri pertamanya boru Simanjuntak hanya memiliki seorang putri dan dari istri keduanya boru Situmorang tidak ada anak , barulah dari istri ketiganya boru Sagala ada 3 putra dan 6 putri, dari istri keempatnya boru Nadeak ada 3 juga putra dan 2 putri, dan dari istri kelimanya boru Siregar ada 1 putra . Dengan demikian, Sisingamangaraja XII memiliki 16 anak: 7 putra dan 9 putri (Sijabat, 1982: 456-457). Ini adalah cermin nilai hagabeon dengan konsep nilai keluarga dahulu, “banyak anak, banyak rejeki” serta meminjam istilah McClelland (1987) sebagai power motive dan achievement motive. Nilai hagabeon “berketurunan” masih tetap dijunjung tinggi sekarang, tetapi tidak lagi dengan konsep “banyak anak, banyak rejeki”. Pada masa Sisingamangaraja XII, konsep Bintang na Rumiris, tu ombun na sumorop, maranak periris, marboru pe torop “banyak putra dan putri” memang cocok sebagai nilai keluarga dan beristri lebih dari satu juga tidak bertentangan dengan religi yang dianutnya.

Nilai kebersamaan (hasadaon ni roha) juga tercermin dalam keluarga Sisingamangaraja XII pada waktu itu karena Sisingamangaraja XII bersatu hati dengan seluruh keluarganya untuk berjuang untuk menghambat, melawan, bahkan kalau mungkin mengusir Belanda dari wilayah kekuasaannya. Nilai kebersamaan yang dimiliki keluarga Sisingamangaraja XII pada masa perjuangannya harus tumbuh dalam generasi muda sekarang terutama di keluarga keturunan Sisingamangaraja XII.

Mengakhiri tulisan ini, ada lagi nilai keluarga yang perlu dikemukakan, yakni istri-istrinya yang turut mendampinginya sangat memegang rahasia dan turut membantu perjuangan Sisingamangaraja XII. Kutipan ini hanya salah satu ungkapan penting tentang salah satu istrinya boru Sagala, yang walaupun dia telah ditangkap Belanda, dia teap tidak mau memberitahukan kepada pihak Belanda di mana Sisingamangaraja XII berada, “Jonggi Manaor Limbong pun, turut hadir di tangsi itu ialah untuk membantu pihak Belanda. Dia “langsung ditampar” oleh boru Sagala, ketika Jonggi Manaor mulai angkat bicara dan memastikan dia memang istri Si Singamangaraja dan ibu Patuan Nagari”.

Penutup

Sebagaimana nilai budaya yang dimiliki Raja Sisingamangaraja XII, generasi muda harus memiliki dan menjungjung tinggi tiga nilai budaya identitas, interaksi, dan visi dalam kehidupannya. Nilai identitas etnik sebagai instrumental value harus dilestarikan, tetapi dalam bingkai nasionalisme sebagaimana yang diperlihatkan Sisingamangaraja XII dalam perjuangannya dan tergambar dalam capnya. Nilai interaksi (interactional values) juga diperlukan terutama dalam berinteraksi secara internal dan eksternal untuk menghimpun kekuatan, menetapkan kebersamaan, dan menjalin kerja sama sebagaimana yang diperlihatkan Sisingamangaraja XII dengan strategi Dalihan Na Tolu yang asli dari budaya Batak dan Raja Merempat yang diadopsi dari Aceh. Nilai visi sebagai terminal value sangat diperlukan terutama untuk meraih hagabeon-hamoraon-hasangapon “panjang umur-berketurunan, kesejahteraan, dan kehormatan sebagaimana yang terlihat dalam perjuangan Sisingamangaraja XII dengan berusaha berjuang, bekerja keras, dan konsisten dalam mancapai tujuan, membantu yang tertawan karena hutang, anti perbudakan, penjunjung nilai kekebasan karena hanya dengan cara seperti itu masyarakat dapat hidup sejahtera.

Nilai keluarga juga harus dijaga, yakni perlunya hagabeon-hamoraon-hasangapon dijunjung tinggi dalam sehingga harus menjaga kesehatan agar panjang umur dan berketurunan, harus kerja keras dan hemat agar dapat sejahtera, dan harus ditambah sifat penolong, idaman masyarakat, dan berpengetahuan luas supaya terhormat. Kesatuan dan kebersamaan keluarga terutama sebagai extended family dalam sistem keluarga di masyarakat kita memang sangat penting untuk meraih tujuan hidup. Nilai memegang teguh rahasia keluarga juga sangat diperlukan dalam kehidupan sekarang ini.

Baik nilai budaya dan nilai keluarga itu tergambar dalam kehidupan perjuangan Sisingamangaraja XII baik dalam memenuhi need of affiliation “kebutuhan akan persahabatan dan kerja sama”, need of power “kebutuhan akan pengaruh dan kuasa”, dan need of achievement “kebutuhan akan perjuangan dan prestasi”-nya.

Daftar Pustaka

Kozok, Uli

2000 “Seals of The Latest Sisingamangaraja”. Indonesian and the Malay World, Vol.28, No.82, 2000.

Napitupulu, O.L.

1972 Perang Batak atau Perang Sisingamangaradja. Jakarta: Jajasan Pahlawan Nasional.

Said, Mohammad

1961 Tokoh Singamangaradja XII. Medan: Waspada.

Sidjabat W.B.

1983 Ahu Sisingamangaraja: arti histories, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII. Jakarta: Sinar Harapan.

Salomo, Mangaradja

1938 Memilih dan Mengangkat Radja di Tanah Batak menurut Adat Asli. Sibolga: Rapatfonds Tapanuli.

Sisingamangaraja XII

Senin, 28 April 2008

Keluaraga Sisingamangaraja XII



Ini adalah photography [trophy kemenangan], a picture speaks a 1000 words, yang diambil beberapa jam setelah pembantaian Si Singamanggaradja XII [1907].

Yang duduk dikursi rotan adalah Ibunda dari Si Singamanggaradja XII, sebelah kanan beliau adalah istri-1, sebelah kiri beliau adalah istri-2 dan istri-3 dan istri-4 dari Si Singamanggaradja XII. Ke sepuluh [10] anak-anak ini adalah sisa dari anak-anak Si Singamanggaradja XII yang tidak dibantai. Perhatikan ekspresi raut-muka mereka semua ?!?!

Berdiri dibelakang meraka semua adalah sebagian dari para pembantai Dinasti Si Singamanggaradja XII. Perhatikan bentuk wajah-wajah mereka. NO COMMENT !!

Sekian, catatan kecil saya ...............

son of god



INILAH ANAKKU YANG KUKASIHI,
HANYA KEPADANYALAH AKU BERKENAN.

"BARANGSIAPA MENOLAK DIA BERARTI DIA MENOLAK AKU"

stop lecehkan budaya batak

[toga nainggolan; bataknews; kritik buat tb silalahi & sae nababan]

Membaca dua berita di blog ini tentang kebatakan, seorang Batak di Medan yang mengagumi budayanya tak bisa menahan diri untuk tidak “berteriak”. Berikut adalah opini yang dikirim Toga Nainggolan via imel kepada BatakNews.

Pertama-tama, TB Silalahi menyatakan, “Tanpa Nommensen, saat ini orang Batak mungkin masih pakai cawat”. Kemudian SAE Nababan, mantan ephorus HKBP dan sekarang Presiden Dewan Gereja Sedunia, mengkritik tiga hal yang disebutnya sebagai falsafah orang Batak; hamoraon (kekayaan), hagabeon (banyak keturunan), dan hasangapon (kehormatan). “Falsafah Batak” yang disebutnya tidak sesuai ajaran agama (Kristen).

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada kedua tokoh Batak dengan reputasi nasional bahkan internasional ini, aku harus menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan itu sangat keliru.

Nommensen benar membawa banyak hal baru yang baik kepada orang Batak. Tetapi orang Batak juga sudah merupakan etnis yang sangat tinggi kebudayaannya, bahkan sebelum Nommensen diciptakan Tuhan. Anda pernah mendalami kerumitan geometrikal motif pada ulos? Anda pernah tahu orang Batak bisa membangun sopo godang (rumah adat besar) tanpa sebiji pun paku, namun bangunan tinggi itu tak akan tumbang karena gempa sekuat apapun, dan lebih hebat lagi, bisa dipindah-pindahkan lokasinya? Pernah mendengar differensiasi melodi tataganing dengan sarune, ditambah efek sustain ogung, melahirkan harmoni dan ritme yang begitu rumitnya, sehingga nyaris mustahil dibuatkan partiturnya, pada gondang sabangunan? Nanti kalian bilang aku sombong kalau daftar pencapaian kultur Batak ini kuteruskan.

Soal demokrasi? Saat Eropa masih feodal, orang Batak sudah duluan menerapkan demokrasi yang egaliter. Pernah dengar prinsip sitongka ditean harajaon hasuhuton? Gila benar progresivitasnya. Bahkan kerajaan, atau otoritas (kekuasaan) pemerintahan yang sah, tidak punya hak mengatur kedaulatan sebuah keluarga, atau hasuhuton.

Tak ada raja di tanah Batak, justru karena semua adalah raja. Raja na ro, raja nidapotna. Kalau yang datang itu raja, maka yang menyambut pun raja. Petugas pembersih jeroan daging hewan untuk sebuah pesta pun disebut dengan Raja Pamituhai, sejajar dengan Raja Parhata, Raja Paranak, Raja Parboru, dan seterusnya.

Di sebuah even, Anda bisa menjadi hula-hula yang mendapat somba atau penghormatan. Namun di even lain, Anda akan menjadi anak boru yang justru harus marsomba-somba. Tak ada posisi (dan kehormatan) permanen dalam budaya Batak.

Inikah bangsa yang masih pakai cawat itu? Ingat, prinsip penting dalam kebatakan adalah kehati-hatian. Manat mardongan tubu! Jangan asal bunyi!

Ini pula yang mengecewakan dari tokoh sekaliber SAE Nababan. Di pustaha mana pula ada tertulis bahwa falsafah Batak itu hamoraon, hagabeon, hasangapon. Setahuku itu cuma ada di lagu “Alusi Ahu”. Dan kalau disimak, bahkan lirik lagu itu pun tidak bersepakat dengan apa yang disebut SAE Nababan sebagai falsafah Batak itu. “Di na deba,” itu artinya buat sebagian orang, namun untuknya yang lebih penting adalah “Asi ni roham, basami do na huparsinta-sinta”. Bahkan belas kasih seorang gadis pujaan hati, jauh lebih penting dari ketiga hal itu.

Dan Pak SAE Nababan yang terhormat, saya tak hendak mengajari limau berduri, atau ikan berenang. Falsafah Batak itu adalah somba (penghormatan, bukan kehormatan!), elek (diplomasi dan pengayoman), serta manat (kehati-hatian). Menghormati yang di “atas”, mengayomi yang di “bawah”, dan berhati-hati dengan yang “sejajar”. Ya, benar, Dalihan na Tolu.

Bahwa banyak orang Batak meletakkan “Dalihan Na Tolu” versi Anda itu sebagai goals of life, itu pilihan personal. Tidak serta merta itu bisa kita nobatkan sebagai falsafah Batak dong.

Saya tidak “sekadar” orang Batak. Orang tua saya seorang Datu, yang memungkinkan saya punya banyak kesempatan terpesona oleh keluhuran sesungguhnya dari budaya ini. Saya selalu terluka dengan serangan ofensif agama-agama kepada budaya Batak; ada yang sampai membakar ulos, menjatuhkan giring-giring, dan sebagainya, hanya karena orang rindu mendekap erat keluhuran budayanya.

“Pelecehan” seperti ini tidak saja datang dari kalangan agama Kristen, tetapi juga Islam. Hanya saja, karena mayoritas orang Batak beragama Kristen, benturan habatahon dengan kekristenan ini lebih terasa.

Hati saya memang pernah tergetar mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an. Saya juga akui, merasakan pengalaman rohani yang dalam mendengar suara koor di gereja, yang begitu harmonik dan agung memuji Tuhan. Tapi tak pernah dada ini sampai terguncang hebat, dengan air mata bercucuran, seperti ketika melihat dua pihak yang tadinya bertengkar hebat, bisa berpelukan, marsisiukan sambil tetap mengurdot-urdotkan badan seiring ritme gondang sabangunan. Peluh dan air mata keharuan, bercampur di tubuh-tubuh yang bergerak seirama itu.

Agama-agama Anda itu bisa? Ah, setahuku malah menambah konflik yang sudah ada!

Anda juga mesti ingat, “sebenar” apapun agama Anda itu, tetapi itu adalah Raja Na Ro, pendatang, yang harus marsantabi (bersitabik) dengan Raja Nidapot, yaitu adat Batak selaku tuan rumah yang sudah lebih dulu ada dan berdaulat.

Silakan yakin sampai mati dengan ajaran impor Anda dari Timur Tengah itu (agama-agama Abrahamic berasal dari sana kan?) tapi plis deh, jangan lecehkan keluhuran orisinil yang diturunkan Mula Jadi Na Bolon, yang dihadiahkan sebagai berkat eksklusif kepada kami di tanah kami.

Hati-hati! Merasa sudah memahami Tuhan adalah awal kesesatan, karena Dia punya bisikan rahasia yang tersendiri, kepada setiap hati.

Horas, syalom aleichem, wassalamu ‘alaikum. [www.blogberita.com]

Penulis opini ini, Toga Nainggolan, adalah seorang wartawan di Medan. Tulisan ini tidak mewakili suratkabar di mana dia bekerja, juga tidak mewakili dirinya sebagai wartawan; namun semata-mata sikap pribadinya sebagai seorang Batak.


Ruji Ni Ari Batak

RUJI NI ARI BATAK

Naskah ini disebut SITOMBUKSURIK berasal dari cacatan Jos Pohan Siahaan, gelar Guru Sinaingan, selanjutnya ditulis kembali olah putranya Bonar Siahaan untuk Lembaga Budaya Batak Bona Pinasa.

HUHUASI

Tangan do botohon ujungna jari-jari, Jari-jari sampulu luhut mampanggoari,
Pinatupa SITOMBUK SURIK on, jumolo hami marsantabi, Molo adong nahurang lobi nanget ma hita manuhari.

Pinatupa do sada sitombuk Surik namet-met songon ruji-ruji ni ari-ari ni habatahaon na-pinangke ni angka Ompunta naparjolo i. Alai dang na laho manogihon panjaha mangulahon natarsurat di Sitombuk Surik on, holan nanaeng pataridahon hapantason dohot habisuhon ni angka Ompu naparjolo i do dipanulingkition tu na adong ditano on dohot di hajang-hajang, na laho paturehon parngoluon marhite panurirangon dohot partingkian.

Nang pe dang tarulahon be angka napinaandar di Sitombuk Surik on, godang do na ampit botoonta laho mangulahon ulaonta be. Jala sude na adong di tano on dohot dihajang-hajang mar-haroroan sian Debata do i, alai dohot do roha di-basa-basahon Ibana tu hita jolma asa boi hita mangarajai napinasahatna i tu hita.

Surat on niuhal sian pustaha sinurathon ni Amanta Jos Pohan Siahaan na manggoarhon Guru Sinaingan.

Molo tung adong sian panjaha naeng manulingkiti dohot maniroi Ugari ni Habatahon hombar tu Sitombuk Surik on rade do hami manjalo asa lam tamba bohal laho patotahon Sitombuk Surik on tu ari nanaeng ro. Godang dope nahurang angkup naung tarsurat di Sitombuk Surik on, alai rade dope hami tu joloan ni ari laho paturehonsa, songon nidok ni natua-tua :

Pauk-pauk hudali, pago-pago tarugi. Natading taulahi, nasega tapauli.

Molo masuak dangka, hatop ma tasihor-sihori. Molo tarida urat, hatop ma tatambor-tambori.

Sipahasia Desember 2002

BONAR SIAHAAN

RUJI NI ARI DOHOT PAMILANGINA

Asa tek-tek mulani gondang, serser mula ni tortor siup mula ni tabas, panguhiron manjadi panggorgaon, parholiton (hapideon) mula ni hamoraon, Panggalangon mula ni harajaon hasingalon mula ni hatangkangon, paung ni irik-irik na so jadi pautangon tomu manomu-nomu na so jadi bajoon, ugasan lume na so jadi doboon. Napinollunghon asa polung, napinodahon asa poda, naginuruhon asa parbinotoan.

Ia lapatan ni sitombuksurik, ima ruji-ruji namasitendehan dibagasan namarhahomion diari-ari ni habatahon dohot di ugarina. Marmula do i sian sisia-sia ni hata Batak dohot panjujuran ni ari (parhalaan) sahat tu poda ni hadatuon habeguon (hasingalon), hatungkangon, mangula tano dohot ruhut ni harajaon.

Ala datu ari do dasor ni hadatuon sahat tu haguruon di habatahon, jumolo ma sian i nimulaan sitombuk surik on, jumolo ma jolo pinaandap goar-goar ni hadatuon dohot haguruon dihabatahon.

1. Datu Ari

2. Datu Panusur

3. Datu Pagar Dohot Taoar

4. Datu Parsili

5. Datu Pandudu

6. Datu Parmanuk dohot Manuk Gantung

7. Guru Sinaingan

8. Guru Parpansaginjang

9. Guru Bisara

10. Guru Siopat Pusoran

Pamilangi ari dohot pandohoti dipangarujion ari idaon mai sian dasor bilangan ima:
ð Ari Rojang Na Tolupulu
ð Parmesa Na Sampuludua
ð Panggaroda Na Walu
ð Gorda Na Onom.
ð Mamis Na Lima.
ð Pehu Na Opat.
ð Panjorotan Na Dua.
ð Hatiha Pungpung si Sada-sada.

1. Ari Rojang Na Tolupulu

Ia lapatan ni Ari Rojang Na Tolupulu, ima tolupulu jujur ni ari dibagasan sada bulan. Diparhalaan, di anak mangoli di boru muli . di anak tubu dohot di boru sorang di angka ulaon sahat tu jomuk-jomuk ni ari.

2. Parmesa Na Sampuludua

Parmesana sampuludua, ima bulan na sampuludua manang panggilingan na sampuludua manilik ari si parhorjahononhon mangihuthon sipaha ni bulan (parmesa).

Goar-goar ni parmesa na sampuludua :

1. Mesa (sipaha sada)

2. Marsoba (sipaha dua)

3. Nituna (sipaha tolu)

4. Harahata (sipaha opat)

5. Singa (sipaha lima)

6. Hania (sipaha onom)

7. Tola (sipaha pitu)

8. Martiha (sipaha ualu)

9. Dano (sipaha sia)

10. Mahara (sipaha sampulu)

11. Morhumba (Li )

12. Mena (Hurung )

3. Panggaroda Na Walu

Lapatan ni Panggaroda Na Walu, ima jujur ni desa na walu, di goar-goar ni desa i.

Goar ni Desa Na Walu:

1. Purba (Timur )

2. Anggoni ( Tenggara)

3. Dangsina (Selatan )

4. Nariti (Barat Daya)

5. Pastima (Barat)

6. Manabia ( Barat Laut )

7. Utara (Utara )

8. Irisanna (Timur Laut)

Jotjot do i dipangke datu manilik ari diugasan mago, alatan ni sahit, manjaha manuk diampang dohot angka ulaon namardomu tusi.

4. Gorda Na Onom.

Goar ni Panggorda Na Onom :

1. Gorda ( onggang, lali )

2. Sorpa (ulok)

3. Sangmusiha (tihus, monsi)

4. Marsoba (lampu-lampu )

5. Sua (asu, babi)

6. Sangbinea (ombun, angin)

Jotjot do i dipangke datu manilik ari laho tu partongtangan dohot na mardomu tusi.

5. Mamis Na Lima

Goar ni Mamis Na Lima :

A.
1. Mamis (sogot, mulai poltak mataniari)
2.
Hala (pangului, ± pukul 9 - 11)
3. Sori (hos, tonga ari )
4. Borma (guling, ± pukul 2 - 5)
5. Bisnu (bot, laho mangholom mataniari )

B
1. Ina ni tangan (ina ni jari )
2. Situmudu (jari jari paduahon )
3.
Situalang (jari partonga–tonga )
4. Sijagoa (jari paopathon )
5. Anak ni tangan (anak ni jari)

Dipangke jahajahaan, dipartubu ni jolma, mangatiha ugasan mago, boa-boa ni sorimatandang songon panggilinganni parhalaan, ari ni sahit dohot gora (parmusuon) dohot angka na asing.

6. Pehu Na Opat

Ia pehu naopat, ima tiang ni Desa Na Walu (ina ni Desa, Purba, Dangsina, Pastima, Utara), didok ma i Tiang ni Desa manang Tiang ni Tano. Masuk tu torsa-torsa do hata na mandok martiang do tano on, tujuanna dang boi holan gogo ni hata manang torop ni partubu. Adong do sitiop tampuk ni tano on, ima Raja ni Huta, Horja, dohot Raja ni Bius.

7. Panjorotan Na Dua

Ia Panjorotan Na Dua ima Mataniari dohot Bulan na manondangi tano on. Jala dipangke do i manjaha partaonan dohot nanaeng masa.

8. Hatiha Pungpung si Sada-sada

Ia Hatiha Pung- pung si Sada sada na martujuan tu Pusok ni Tano On manang Pusok Ni Desa Na Walu.

JAHA JAHAAN DI PAPANGAN NI ARI

1. Hala Sadari .

1. Ia di Sipaha Sada, di Samisara Na Godang (Samisara Purasa ) mangan Hala sadari
2.
Ia di Sipaha Dua, di Suma (Ni Poltak ) mangan Hala sadari.
3. Ia di Sipaha Tolu, di Boraspati Ni Tangkup mangan Hala sadari
4. Ia di Sipaha Opat, di Tula mangan Hala sadari
5. Ia di Sipaha Lima, di Singkora duduk mangan Hala sadari
6. Ia di Sipaha Onom, di Singkora duduk mangan Hala sadari
7. Ia di Sipaha Pitu, di Singkora (Ni Poltak) mangan Hala sadari
8. Ia di bulan Sipaha Walu, di Singkora duduk mangan Hala sadari
9. Ia di Sipaha Sia, di Anggara (Ni Poltak ) mangan Hala sadari
10. Ia di Sipaha Sampulu, di Tula mangan Hala sadari
11. Ia di bulan Li (Lihu), di Suma (Ni Poltak ) mangan Hala sadari
12. Ia di bulan Hurung, di Antia Ni Aek mangan Hala sadari

Diorai do marhorja di papangan ni Hala sadari, nang pe ari nauli diparhalaan jala sunggu bajik dipanggilingan.

2. Hala Sungsang.

1. Ia di Sipaha Sada, di Muda Ni Mate mangan Hala sungsang.
2. Ia di Sipaha Dua, di Suma Ni Mate mangan Hala sungsang.
3. Ia di Sipaha Tolu, di Samisara Maraturun mangan Hala sungsang.
4. Ia di Sipaha Opat, di Boraspati Ni Holom mangan Hala sungsang.
5. Ia di Sipaha Lima, di Anggara Ni Holom mangan Hala sungsang .
6. Ia di Sipaha Onom, di Tula mangan Hala sungsang
7. Ia di Sipaha Pitu, di Singkora Purasa mangan Hala sungsang
8. Ia di Sipaha Walu, di Muda Ni Mangadop mangan Hala sungsang
9. Ia di Sipaha Sia, di Sumani Mangadop mangan Hala sungsang
10. Ia di Sipaha Sampulu, di Samisara (Ni Poltak) mangan Hala sungsang
11. Ia di bulan Li (Lihu), di Boraspati (Ni Poltak ) mangan Hala sungsang
12.
Ia di bulan Hurung, di Anggara (Ni Poltak) mangan Hala sungsang

Diorai do marhorja di ari papangan ni Hala Sungsang nang pe ari nadenggan diparhalaan, jala Sunggu Bajik dipanggilingan.

3. Si Tiga Bulan

1. Ia di Sipaha Sada, Sipaha Dua, Sipaha Tolu, di Singkora (Ni Poltak), Anggara Ni Holom, Boraspati Ni Holom, Singkora duduk mangan Si Tigabulan.

2. Ia di Sipaha Opat, Sipaha Lima, Sipaha Onom di Singkora (Ni Poltak ), Boraspati Ni Holom, Suma Ni Mate mangan Si Tigabulan

3. Ia di Sipaha Pitu, Sipaha Walu, Sipaha Sia, di Artia, Suma, Muda, Muda Ni Mangadop, Samisara Maraturun dohot Anggara Nabegu mangan si tigabulan di ari inon

4. Ia di Sipaha Sampulu, Li, Hurung, di Muda (ni poltak ) Samisara Purasa dohot di Anggara Nabegu, mangan Si Tigabulan di ari inon.

Unang hita pipot di ari, lindung hita di bulan, dang jadi parhorjahonon ari ni si tigabulan, nang uli diparhalaan sunggu bajik dipanggilingan, marhinaon do asa mauli.

4. Sibanggua Ni Ari

Sibanggua Ni Ari jaha-jaha do i dipompang ni sipanganon, ima :

1. Di Artia, Ihan na so panganon
2. Di Suma, Ihan niura na so panganon
3. Di Anggara, Namardaro na so panganon
4. Di Muda, Babi na so panganon
5. Di Boraspati, Manuk na so panganon
6. Di Singkora, Lombu na so horjahonon
7. Di Samisara, Lorbo na so horjahonon

Molo marhorja halak dipasiding ma pompang ni sipanganon i, asa horas halak namangansa sian horja i. Ia so tarpasiding do ari i, bolonghon ma jolo saotik sipanganon i tagan so adong dope na mandai asa Siharhar Ni Ladang jumolo mandai. Ai manang ise jumolo mandai, tusi do hapilingon ni pompang i. Siharhar Ni Ladang do sisopsop naigar sisobur na asom.

5. Sibanggua Ni Ugasan.

1. Artia : Sibanggua Ni Jolma, unang pangoli anak manang pamuli boru, manang mamandahon natua-tua di ari inon.

2. Muda : Sibanggua Ni Horbo, unang manjalo manang mangalehon Horbo di ari inon

3. Boraspati : Sibanggua Ni Mas, unang mangalehon manang manjalo Mas di ari inon, manggadis manang manuhor unang di ari inon

4. Singkora : Sibanggua Ni Bosi, unang manjalo manang manglehon Bosi di ari inon, manuhor manang manggadis unang di ari inon

5. Samisara : Sibanggua Ni Eme, unang manggadis manang manuhor Eme di ari inon, marsali manang pasalihon unang di ari inon

6. Antian Ni Aek : Sibanggua Ni Tano, unang mangongkal manang manghali tano di ari inon, mandondon manang padodonhon tano unang di ari inon

7. Suma Ni Mangadop : Sibanggua Ni Ulos, unang manglehon manang manjalo Ulos di ari inon, manuhor manang manggadis Ulos pe unang di ari inon

8. Anggara Sampulu :Sibanggua Ni Napuran, unang manjaha Napuran di ari inon

Tolu hali sabulan pajumpang goar ni ari inon asing di Tula, sipasidingon ma tolu ari di sada bulan Banggua Ni Ari. Gari ugasan mago unang ma di ari inon.

PANE NA BOLON

Ia Pane Nabolon ima namanghangkam tolu Desa, Astuanna; Molo di Purba uluna di Utara ma ihurna (ihur ni pane i). Somal do didok halak ihur ni pane, ima na sai marsillam satongkin dung bot ari. Jala sai di pangholom ni bulan ma i najumotjot tarida. Songon pangurupi do i di halak namardalan borngin, ai marhite sian panghirdop ni Ihur ni Pane i gabe dapot do tarida lima dopa tu namardalan dinaholom.

Opat hali do munsat Pane Na Bolon dibagasan sada taon. Di bulan Sipaha Sada, Dua dohot Sipaha Tolu di Purba. Di bulan Sipaha Opat, Lima dohot Sipaha Onom di Dangsina. Di bulan Sipaha Pitu, Walu dohot Sipaha Sia di Pastima. Di bulan Sipaha Sampulu, bulan Li (Lihu) bulan Hurung di Utara.

Mangihuthon pandok ni angka Datu, ganup munsat Pane Na Bolon, sai manjaga do na jumujung hunik, lumobi molo tarida langit marrara. Jala molo humolo-holo sada ina, pintor disungkun Sibaso do naumbotosa manang didia Pane. Molo soadong na umbotosa ditingki i, Manuk namodomhon ma dibereng. Ai dang olo ninna manuk na modomhon mandopakhon Pane, ingkon dihambirangna do manang di siamunna.

Hira munsat Pane i, ingkon jolo di dalani do anak ni Desa hinangkamna di Sipaha Na Tolu i, tarida do i sian parhusor ni Manuk namodomhon. Naung dompak Habinsaran hian Manuk i olo do i gabe dompak Angkola (Dangsina). Disi ma diboto Siradoti ari naung munsat Pane, asa diboto padomuhon tu adop ni Pane Na Bolon molo adong na manungkun ari tu ibana. Ai dang jadi dompakhonon ni parumaen ro Pane, nang mangompoi bagas pe ingkon jolo munsat do Pane asa mompo. Songon i nang tutuaek molo tongon dompak Pane adop ni jabuna. Jala molo adong parumaen na baru ro, jala tongon dompak Pane adop ni jabuna, manginjam jabu nama nampuna parumaen i, manang tu jabu na asing nama jolo di bahen paima sae robo-roboanna, sipata dipungka laba-laba sian lambung asa unang martaha tu Pane.

TONDUNG RAMBU NA ONOM

Adong do dua bagian Tondung na marpangguruan sian Panggorda Na Onom, ima, Tolu gotap do Bonang Manalu dilompit dua, gabe onom ma punsuna. Dipapungu ma punsuna na onom i, jala dipulos-pulos ma punsuna i. Molo sirang do bonang i, ima naung manjorot, molo tung partontangan do monang ma nabinorhatan i. Molo tondung tu partiga-tigaon do mangomo ma nabinorhatan i. Molo tandang pinadatu do dapotan ma hita laho tandang.

Alai molo hea domu dua tu hambirang punsuna sada tu siamun, jagaon do parmaraan disi. Molo martontang do, nunga olo hona disi parbingkas. Molo tu siamun do domu dua, ingkon jolo sulangan ma Ulubalang parjolo-jolo asa borhat. Dang sombu dope roha ni napinaborhat i disipanganon. Molo martolu suhi do bonang i di hambirang di saimun dipamangan ganup masisangkingan be, nunga talu napinaborhat i. Songon i ma jaha-jahaanna nang tu partiga-tigaon, nang laho tandang pinadatu.

Tonggo-tonggona :

Humiak, hubaja, huhasap hudaupa, namamiak mambaja, mangasap mandaupa di badia ni guru, guru pinangguruan, guru parjolo guru parpudi. Tondi ni guru namangolu, badia ni guru namate. Hupio hutonggo hamu ale badia ni guru, dang na tumonggo mangan tumonggo minum, asa mangajari manuturi do hamu di tondung Rambu Naonom simonang–monang on. Sitatap na mandao sitailihon na mandonok on, gari taripar laut tinonggor ni simalolongna tolpus dolok tinailihon ni matana, sipaboa tondi mago sipaboa tondi mamora on.

Datik margait halak ompung todung Rambu Naonom, tongka ho margait, datik margapgap halak da ompung tongka ho margapgap, datik manangko halak tongka ho manangko.

Ndada nahutedektedek on da ompung songon timbaho di onan hupangido-ido songon gambir di dalan. Natangkas huguruhon do sian badia ni guru sian sahala ni guru, di indahan sipailohot, lohot ma poda di ahu, di dengke tinuturan, tutur poda di ahu. Patiur ma songon ari parondang songon bulan. Ro sampuran na suksuk sampuran tu mandol batu. Haroaon ma di suhut parhangkungon ma di datu.

Dung sidung ditonggohon, dibungka ma tondung i, ima songon na tarsurat di ginjang i.

Domu tu hata na di ginjang i do torsa na mandok: “na pinodahon asa poda na pinollunghon asa pollung, na ginuruhon asa parbinotoan”, lapatanna, dang boi holan na binege-bege poda ingkon na tangkas ginuruhon do. Songon i do dohot pollung, dang boi asal baraksi dohonon, ingkon tangkas botoon hata Batak dohot lapatan ni hata Batak i, unang lipe natinujuna. sotung pultak tu suhulna, gabe datu mangan saputna (diallang binotona datu) ditaha pollungna raja.

PANJUJURON MANGIHUTHON MAMIS NA LIMA

Di Anak Tubu.

Ia disitualang ari na di ina ni tangan panogotina (mamisna ), molo baoa do na tubu i jala anak ni raja, banta (bangko), naboru do i, jala pasuruthon sian amana dohot ompungna, sibutuha meneng-eneng do i jala laga mangallang lasiak. Olo do i mangonjar amana manang ompungna, manang hahana, manang tinodohonna. Gumirgir do i sisada sabutuha. Ima nigoarna sisoluk halang ulu molo baoa. Molo naborua do i olo do i mangonjar tu inana, natalam bohina, jala na jojat butuhana. Molo boru gonggoman do manang napogos nampuna ari i, upaon ni parboru ma boruna.

Molo disitualang arina, jala tongon di Anggara lumobi di Anggara Nabegu, disitumudu panogotina, ima ari ni anak nabegu jala raja. Tu aek so ra mengge ma i tu ari so ra mabiltak. Sipultakhon barita ma i, jala dang sialang-alang baritana. Jala molo tung naung ditinggalhon habeguon dohot harajaon hian halak inon, horbo manurun ma inon mulak tu barana, tangke marung-rung ma i mulak tu songkirna, molo disijagoat panogotina (mamisna), ari raja ma i jala parhata tingkos, dang olo i manolon-nolon dang olo i margabus-gabus. Sitingkos ni ari do disi sijujur ni ninggor.

Baoa manang borua pe i, dang jadi pasidingon i molo adong sipahataon molo dipapudi halak i hinorhon ni sogo ni roha, lao paleahon sangkap na, lam maribak ma parhata on i, jala molo dipapulik dongan tubuna halak sisongoni, lam tu lunsut na horjai, ai jolma namarsahala do napinapudina i. Ai tung so diboto halak ari partubu ni jolma si songon i, pintor diboto halak narihim di ari do na tubu di songon ni halak i. Molo dipapudi halak si songoni di sada lunggu manang horja, jala adong tongon narihim di ari di lunggu i, pintor di pinsang si boto ari do halak na papudihon i.

Ai tung tuloja na do halak na papudi jolma sisongon i partubuna. Jot-jot do dipapudi halak jolma si songon i partubuna, alana dang olo halak si songon i partubuna martahi-tahi, ai jolma na burju do halak sisongoni jala namanat, naso olo pajolo-jolo dirina.

Molo situalang do panogotina, ima, ari ni najungkat jala siallang gana, sibondut tutu. Sai holan na mandaho do ulaonna jala ampot limut do hata ni halak sisongoni. Molo di anak ni tangan do panogotina, jolma siloja-loja do halak inon, parbarita so sungkunon do i, jala sai tubu do barita bahenon ni i sian dugul ni patna. Jala molo dipadomu tu ari, artia, artia ni aek, artianni anggara, ari paruma-uma (parburju-burju) ima naboti.

Suma, suma ni mangadop, suma ni holom, ari ni simanggo-anggo jala si tullang-tullang hata naso mahap di tambena.

Molo di anggara do, anggara sampulu, anggara na begu, tarlumobi molo anggara na begu huhut martomu tu panogotina, ari ni anak na begu ma i.

Muda, muda ni mangadop, muda ni holom, parlambok manghatai jala bantana banta na boru. Ulaonna pe dang mulak ulaonna ulaonni naboru.

Boraspati, boraspati ni tangkup, boraspati ni holom, sidua–dua gondang na. Olo doi sipanggalang olo sipapangan mago, sitimbangan ma tuparmamis nalima.

Singkora, singkora purasa, singkora maraturun. Golang-golang so tuk (sundat-sundat) tahina, olo doi parholit, olo doi maduma, alai dang ibana mangallang ni ulana (pinungkana). Molo naboru i, panggatti do mangallang pinungka ni i.

Samisara, samisara purasa, samisara bulan mate jala toho di panogotina (mamisna) ari ni pareme jala parmas, napide (mamungka jala parbuas mangalehon).

Tula .Molo tubu di tula jolma, somalna sisada sabutuha ma ibana, ai tula somarangkup do i, alai sai adong do hinorhon ni saem didok. Ndang siduaan hata ni halak sisongoni, parhata sada doi jala natanda diadian. Sapala mamora, tung dipasuksuk do hamoraon ni halak sisongon i. Molo sapala raja i tung tanli doi sian donganna raja. Alai molo sapala runsur i tung songon parnangkoknai do parrunsurna.

Alai sudena i, ingkon sitimbangon diari na tupanogotina (mamisna), alana sipata do maralo ari na tu panogotina. Jala dumenggan do partubu ni jolma dung salpu tula, jala laos adong do ari i ari ni jolma na raja, adong ari ni anak hinomit, adong ari ni boru gomgoman. Molo di hunti na so tandukna disarat na so ihurna, ima jolma na so umboto tambena. Angka ima sipatomu-tomu on ni sijaha ari.

Ugasan mago

1. Molo di sijagoa (na so margoar) ari ni ugasan mago, tu ina ni tangan panogotina nungnga taripar handang ugasan i, na manangko siallang gana, maol jumpang panangko i alai jumpang do muse ugasan i nang pe naung taripar handang. Mas pe manang ugasan pangkean. Molo ringgit do (hepeng ) nang so jumpang pintor adong do hatop ganti ni i.

2. Molo di anak ni tangan do ugasan mago di ina ni tangan panogotina jumpang do ugasan i.

3. Molo di ina ni tangan arina di situmudu panogotina, ingkon jolo dipele do pangulubalang. Olo do i dapot olo so dapot sihuduson do mangalului i jala parbaba oga-oga situhason.

4. Molo disitualang panogotina, mulak do ugasan i hatop. Ai halak na raja do namambuat, olo do nang paruma-uma, alai dang olo i manolon gana.

5. Molo disijagoa panogotina, dang mulak be ugasani, nunga siallang gana namambuat. Unang maloja hu be mangalului.

6. Molo di anak ni tangan do ugasan mago, olo do dang dapot olo dapot. Dapot panangko dang dapot ugasan. Ai ugasan ni namanangko dang adong sibuaton abulna.

Molo pinahan do namago i, di sijagoa dohot di anak ni tangan do sihabiaran, lumobi molo mangaliat arina tu panogotina, nunga taripar handang. Alai molo di anak ni tangan panogotina jala dang pola mangliat, olo do tarhapit pinahan i manang magulang. Jadi dapot dope bangkena.

Songon i ma hatorangan ni poda ni jomuk-jomuk, jala boi dope tamba i tuparbinotoan ni sipahan ari marhite sian naung tinuluthonna.

Jaha di sahit

Padomuon ma mamis nalima tu pangaroda naualu, alai dang boi holan patik-patikna i pangguruanna, dohot do marhite nabinerengna dohot nabinegena uju dialapi laho borhat dohot mandapothon huta ni namarsahit. Ianggo parmamis nalima marpangguruan ma sian ari ni jolma tubu dohot ugasan mago. Alai diajari badia ni guru do datu laho manjaha sahit dohot mangubati (dang holan patik-patiknai be).

1. Molo dompak purba do datu hundul manang jong-jong ,ro namangalapi ibana, mangolu do namarsahit i, alai godang saemna. Maroing ma datu i pamahirhon namangalapi i, pintor di raksa do disi hajolmaon ni namarsahit (nampuna gelleng i). Hata ni datu:,
a. Balganai sala binahen ni amana manang ompung na tu raja ni hula-hulana. Hatop sulangi hamu hula-hula muna.
b. Nunga ditandingkon hamu baha ni ompumuna, ido namanginsombut dohot na manginona, jala pajong-jong hamu baha ni amamuna manang ompumuna asa malum namarsahit
c. Naeng ma jolo apusonmuna hoda (debata jinujung)

2. Jaha disahit dompak anggoni. Hata ni datu: Homitan ni huta namanahiti jala naung somal dipapele-pele hamu.

3. Jaha dompak dangsina. Hata ni datu: Nunga adong salam tu raja nisombaon. Ai alopan ni i, manuk nabontar paluaon tu parsombaonan i, sagu-sagu, pisang, ansimun, rondang,itak gur-gur. Ima di hatahon tu parsombaonan i.

4. Jaha dompak nariti. Hata ni datu: Begu ni namate mangangkat (na mate haholongan) mangido, jala namarsahit i nungnga gumodang tu hamatean.

5. Jaha dompak pastima. Hata ni datu: Nunga adong na mate dilanglang sian hasuhuton i. Jala adong hirim nabalga na so dipasahat tu namarsahit i. Begu (simangot ni ompuna pe naeng ma elehonna)

6. Jaha dompak manabia. Hata ni datu: Nunga adong namate maup sian hasuhuton i. Sapata ni anak nauli pe nunga adong sian ompu ni hasuhuton i. Palao sipaimbar ma halak inon jala papurpur sapata ni anak nauli, upaonna ma tondina dohot manuk namarhandang.

7. Jaha dompak utara. Hata ni datu: Datu bolon jala datu nahadohan goar sian ompu ni hasuhuton namanahiti. Jadi naeng ma jolo lehononna alopan ni i, lehononna ma dengke sampur diampang manang biang na martagan jala sunggam balanga molo naung magodang do na marsahit i. Alai molo dakdanak do, dengke sanjongkal manang tinutur-tutur pe boi do, sae do uma so binaboan, malum sahit so niubatan asal dipasahat hamu i, jala manjalo parhangkungon ma tu datu.

8. Jaha dompak irisanna. Hata ni datu: Nunga dompak desa namate, manang sadia godang pe saem dang tarambat be. Alai dang pola dipaboa datu inon i, haluaan ni hata do dibahen didokma: sae do uma so binaboan malum sahit so niubatan.

Dua Bagian tinuju ni hata on, sada hata natoho, sada haluaan ni hata.Ulpuhonna ma muse suhut i parpurpur sapata ni boru. Marmula sian i ma hata namandok, ”dang disaem ho hosam ninna” molo masalpuhu pangalahona tu hula-hula na. Molo datu naung marsahala boi do diraksahon sude namasa di hasuhuton i. Alai adong do bolat ni hasorangan ni hadatuon tu nasiar-siaran. Molo nasiarsiaran (namarjinujung) najinujungnai do marhata-hata. Alai molo marhite sian mamis na lima dohot panggaroda naualu do ibana manjaha diangkupi alatan todik lang-lang manang boa-boa ni sori matandang, ima niangkupan ni niidana dohot nabinegena jala diangkupi badia ni guru (na haguruan).

PANGGURUAN NI HADATUON

Manang ise nanaeng mangguru hadatuon, tung so boi do i mangguru tu halak naleban ia sojolo tangkas ibana di ari, di bulan, di taon, di mesa dohot dilapatanna. Ia adong pe ditanda halak datu pangulpuk dang tangkas ibana patorang ari, bulan, taon, angka parjinujung do i, manang namarhasandaran. Astuannna, adong nasiar tu halak i.
Ianggo namargoar datu, ingkon diboto do jujur ni ari, bulan, taon, desa (mandesai) dohot manjaha bintang. Alana sian i do pangguruan ni “manuk diampang, panduduon dohot mangalahat horbo santi”.

Dung tangkas diboto jujur ni “sitombuk surik”, ipe asa boi ibana manandanghon ari tumandangi ari, tumandangi bulan manandanghon bulan, tumandangi taon manandanghon taon, tumandangi bisa manandanghon bisa, tumandangi taoar manandanghon taoar. Lapatanna: ingkon adong “Batahan “ ni hadatuon di ibana asa boi ibana marguru tu halak na leban mangambai na di ibana i. Ai molo so adong hian di ibana, olo ma ibana hona pogo manang hona rasun. Jadi ingkon tangkas do diantusi undang–undang ni hadatuon asa boi ibana marguru tu halak naleban. Ima torsa namandok ”nagaram di panggaraman nagurum dipangguruman, natangkas dihata-hata nasungkun diundang-undang”.

Ia namargoar datu ari, holan ari dope naboi sungkunon tu ibana (jomuk-jomuk ni ari), molo adong pe diboto ibana jaha-jahaan ni manuk dohot panduduon manang angka na asing, namartalian tu ari do i. Ai sai adong do pardomuan ni ari tu angka parbinotoan i sude. Datu ari namargoar datu parsiajar, ima sihabiaran ni datu tandang, ai ido na olo manulluk taha-taha. Umpamana: Molo manilik manuk gantung datu (manuk si toho-toho), adong ma di ida tanda ditaha-taha ni manuk i nasubang paboaon ni datu, manang na hona tu datu tandang i jaha-jahaan ditaha-taha ni manuk i, ima naolo mandok aha nanidok nion datu, gabe olo ma tarsonggot datu i dibahen halak sisongon i, ai dang managam hian datu i diboto nadilambungna i jaha-jahaan ni i. Ido umbahen sai lapik hata ni datu tandang natangkas marguru tu angka nahundul dilambungna. Marbona sian i do hata namandok: “situlluk taha-taha”. Ima naolo manulluk ulaon ni dongan nahurang denggan (naroa), naolo paurak jolma di hatoropan.

Hombar tu pangalaho dohot parbinotoan ni sada halak do diampehonhon tu ibana goar tohonan harajaon, hadatuon, haguruon dohot hatuanon.

1. Datu Panusur.

Ia naginoaranna Datu Panusur ima, datu na patontuhon parhutaan. Ima parpeak ni jabu, unang disipak dolok, jala manontuhon harbangan dohot bahal ni huta. Datu Panusur do patariashon tu jolma na di huta i, unang gabe tu anak ni desa adop i jabuna (ima ginoarna mandesai jabu, huta dihot parikna).

2. Datu Pagar Dohot Taoar

Sadalan do pagar tu taoar. Molo di boto pauli pagar nungnga diboto i pauli taoar jala nungnga diboto i manjaha manuk sitohotoho (hontas). Adong do deba sian datu pagar naboi maniop manuk gantung, ima manuk ni gora (parmusuan ). Indang sumbarang sitiop manuk gantung, marangkop habeguon do i dohot hasingalon, ai jolma sihosoman ni bariba musu do i. Jala molo margoar datu pagar ibana dang olo be i anggo tung tangkas paurak donganna datu. Sian sorta ni pandohanna do ibana ditanda datu tandang naung sahat ibana tu datu pagar (taoar). Ima torsa-torsa ni hata namandok ”Dang jadi ajian napinagaran”, lapatanna, dang jadi paoto-otoon naniubatan jala nungnga godang diboto i ”pompang” ni pangalaho .

3. Datu Parsili

Ia datu parsili, boi do i hurang dipagar hurang ditaoar alai pande manggana parsili jala pande dohot “manurungi” parsili i. Sadalan do parsili tu sipaimbar, jala molo didok datu pagar dang hataoaran be, ingkon manggana parsili do jala palaho sipaimbar, alapan ma datu parsili.

Ala ni i do umbahen nang hatop dialusi jolma najolo molo adong najou-jou sian ladang, ai dihabiari sotung adong napalaho sipaimbar. Ai manang ise mangalusi pintor tusi do bali sahit ni halak napalaho sipaimbar i, Jala mansai maol do malum sahit molo na hona sipaimbar. Lapatanna, molo sahit rintik do sahit ni napalaho sipaimbar i olo do sai adong na rintik sahat tu pomparan ni namangalusi i. Ai nunga dijalo tondina sahit i

4. Datu Pandudu

Ia datu pandudu ima, naung tangkas umboto ende-ende ni tunggal panaluan, raksa ni desa naualu namanjadi “bindu matoga” tung so boi do datu pandudu ia so tangkas di ibana tonggo-tonggo, ende-ende, gonsi-gonsi dohot pardalan ni bindu matoga i.
Ai adong do subang ni i tu datu laho manggorga bindu matogai, ai ndang jadi lilitan ni rambu na ibana jala ingkon boi do ibana puas sian pintu ni bindu matoga i.
Nang pe naung hea ibana mangalompas panduduon, sipata do dililit rambu na ibana, ima na nidokna “bosi mangan sopuna, datu mangan saputna”.

5. Datu Parmanuk

Molo margoar datu parmanuk, ima naung boi manjaha “manuk diampang”. Godang do datu naung boi manjaha manuk di ampang, alai sai adong do namarsisurungi hadatuon ni jolma manjaha manuk. Ai adong do deba parrobo ni manuk diampang i na asing sian na tarsurat dipustaha i. Nadeba ndang holan manuk i dijaha, dijaha do deba namasa ditingki parmanuhon i, pardalan ni jolma, soara binegena dohot pulung-pulungan pinaumbukna. Sipata do ro rumbung pulung-pulunganna sipata dang rumbung jala marbona sian i ma hata na mandok “pamulung do oloan”, astuanna nang hurang pulungan i, molo gok di dok pamulung i, naung gok do i di datu. Molo manuk ni na “hol” do songon i, sai gok didok pamulung nang hurang pulungan i marhangkung do datu ingkon tubu anak ni na ”hol” inon.

6. Guru Bisara

Ia namargoar Guru Bisara ima naung tangkas umboto mangalahat “horbo santi” guru bisara nama pusat ni namargoar hadatuon. Molo laho mangalahat horbo santi guru bisara, hundul dope nunga mulai ibana marende-ende dohot pargonsi. Jala pargonsi pe dang sumbarang pargonsi be molo pola tu horbo santi. Ai sude ende-ende dohot raksa ni datu i, ingkon boi buaton ni pargonsi i, ai molo so boi ditangkup pargonsi pandohan ni datu, pintor hona asup do pargonsi dibahen, suhut hona ulpuk dibahen datu. Ima alana umbahen sai serep pargonsi ni datu. Umpamana molo mandok datu: “Diboto ho do gondang nion?”, molo ninna datu. “Huboto”, molo nina pargonsi nunga hona ulpuk pargonsi i. Mangupir ma datu, jala marende ma datu i laos diulpuk ma pargonsi i. Alai olo do nang datu diuji pargonsi nang pe hira soadong datu talu dibahen pargonsi. Songon on ma dibahen pargonsi manguji datu: Molo didok datu bahen ma jolo gondang ni on, hape dialusi pargonsi. “Nang so didok ho bahenonhu do”. “Bahen parsarune”, ninna datu i muse. “Dang mangkuling dope taganing”, ninna parsarune. “Bahen pandoali”, ninna datu. “Dang mangkuling dope taganing ai guru di partaganing do hami”.

Molo so malo datu palua dirina, olo ma ngongong datu i. Alai molo naung tangkas marguru do ibana, pintor didok do tu suhut, “lehon jolo pangarintaran”1). Dang tarjua pargonsi i be sopaluonna ai nunga ro ”peleanna”. Marpardomuan do torsa-torsa namandok: ”Molo ro gondangna, ingkon ro tortorna”. Lapatanna, maol do ditortori halak gondang (gonci) na so domu do tu rohana, jala maol do diula halak ulaon na so domu tu rohana (dang ro subutan ni rohana). Ido umbahen sai dipanggar datu suhut tu pargonsi unang sega do ulaon ni datu i.

Ai molo dipasuhar partaganing i palu-paluna i, olo do pipot datu i, songon i parsarune molo dipahorus-horus piltik ni sarunena i olo do pipot datu. Ido alana umbahen sai tardidok datu ende-endena tingki mandudu dohot mangalahat horbo santi songonon tingki hundul dope ibana .

Didia lumban mu
Dilumban batu lumban nami
Mananti ma hamu
Mangalap datu dope hami
Marhua lumbanmu
Marsanti rea raja nami
Bahen ma jolo amang batara guru humundul partarias namalo, nang so pola hudok boi do dibotoho
Situmbur ni bulu
Sidangka ni hopo-hopo
Nasobok songon ahu
Sidongan-dongan mangomo
Au do mangaraksa
Gumodang do diho
Bahen ma jolo gondang ni pangalapi i.

Ia songon i logu ni datu i ingkon songon i do soara ni gonsi-gonsi i.
Nunga dibahen ho i amang pardoal pargonsi, Baen ma jolo gondang ni tali-talion
Binuat silinjuang “
Ampe di pangubari
Jagar do simanjujung
Bahenon tali-tali”

Nunga dibahen ho amang bataraguru humundal partarias namalo, parindahan na suksuk, parlompan na tabo, bahen ma jolo gondang ni sampe-sampeon,
Uli do silinjuang
Bahen sanggul ni ampang
Najagar do angkula
Lehonon sampe-sampe ni ampehon tu abara

Umbahen mandok datu parindahan nasuk-suk parlompan natabo, didimpu2) do indahan dohot lompan tu pargonsi. Molo so didimpu indahan dohot lompan tu pargonsi nunga murak suhut i, jala mabiar ma suhut i ala hata ni datu i. Jadi dang sumbarang na boi mandok “parindahan nasuksuk parlompan na tabo tu pargonsi” holan datu do dohot parsinabul.
Dung sidung parhobasan di datu i, borhat ma ibana manggombar bindu matoga i, alai laho mangalangka datu i dang jadi dompakonnonna “pane” ingkon mangaransang do “pane” tu bindu matoga i. Ninna ma: Bahen ma jolo gondang ni bindu matoga on asa toga-togu amanta na marsanti rea bolonon.

Turturan ni sunggapa
Pianaruning-uningan
Jagar bindu matoga
Mangalit sian hambirang
Dion bindu matoga
Mula ni gorga na birong
Mula ni gorga na bara
Mula ni gorga na bontar
Mula ni pambira-biraon manjadi pambarbaron
Mula ni panguhiron manjadi panggorgaon
Holit mula ni hamoraon
Buas mula ni edang
Hasingalon majadi hatangkangon
Panggalangon manjadi harajaon
Paung ni irik-irik na so jadi pautangon
Ugasan lume na so jadi doboon
Tomu manomu-nomu na so jadi bajoon

Ima ni minaksihon ni “Tuan Sori Mangaraja” huhut digorga ma bindu matoga i, alai dang jadi lilitan ni rambuna ibana. Ingkon sian pintu ibana bongot, sian pintu ibana ruar. Dung sidung di gorga datu i bindu matoga i diraksahon ma dohot angka ula-ula na pinangkenai, ima: tangke, piso, tuhil, saoan, napuran, renteng ni manuk dohot na asing sahat tu tunggal panaluan (taringot tu ende-ende na di pudi pe pinatorang)

7. Guru Sinaingan

Ia namargoar guru Sinaingan nunga padonok parbinotoan na dohot guru BISARA, alai gumodang ibana manjaha parlangtian dohot manangkal aji-ajian. Ndang pola dipasomal dirina manandanghon Hadatuon ai ditandanginama ibana (TINANDANGAN).

8. Guru Parpansaginjang

Sarupa do parbinotoan ni guru parpansaginjang dohot guru bisara, alai guru parpansa-ginjang dang olo tandang be. Gumodangnama ibana manurati angka pustaha dohot pature “parbiusan”, jala molo adong guru parpansaginjang di bius i dang apala olo guru bisara manandangi (mangalahat horbo) di bius ni parpansaginjang anggo dang guru parpansaginjang i namangido.

9. Guru Siopat Pusoran

Umbahen digoari guru siopat pusoran, nunga di ibana haguruon, hamoraon, habeguon dohot harajaon. Alai dang apala olo manandanghon hadatuonna dohot habeguonna tu luat ni halak, holan luatna do gumodang dipature.

10. Tuan

Mansai godang do pandok ni halak taringot tu “tuan” adong na mandok lapatan ni tuan ala sai tu-an tu-an manang dang sonang di luatna.

Mangihuthon hata ni Guru Bisara Baliga Simanjuntak sian Batu Nabolon Pohan Julu dohot hata ni Guru Sinaor Tambunan sian Lumban Pea Tambunan tu Jos Pohan songon ondo: molo dung digoari ibana “Tuan” naung hea do ibana marguru tu “luat hara banua holing” jala nunga adong parbinotoanna na so adong dope di luatna hinan. Natumangkas pataridahon ima “Tuan Sori Mangaraja”, jala molo so diboto dope Hasingalonna barita ni Tuan Sori Mangaraja (habeguonna, hasaktionna, hamoraonna dohot harajaonna) dang digoari i naung haguruan (guru) di habatahon. Sude do guru bisara mamboto barita ni Tuan Sori Mangaraja ala ditingki ni Tuan Sori Mangaraja do mula ni “parbiuson dohot horbo santi sahat tu parjambaranna”.

Laos marhite on ma pinagido tu angka dongan na ringgas manurat “ugari” ni habatahon asa gabe tangkas diantusi lapatan ni “tektek mula ni gondang serser mula ni tortor siup mula ni tabas” dohot angka namardomu tusi, asa “horas tondi madingin pir tondi matogu”.